![]() |
Oleh Padler Tefbana, S.Pd.-Guru Matematika SMAN Kualin Alumni Prodi Matematika Unwira Kupang |
"Technology
can never replace the human touch in education."
— Andreas Schleicher, Direktur OECD bidang Pendidikan
Di tengah pesatnya perkembangan kecerdasan
buatan atau Artificial Intelligence (AI), banyak aspek kehidupan manusia
mulai diotomatisasi. Dunia pendidikan pun tidak luput dari pengaruh ini.
Aplikasi pembelajaran, chatbot
penjawab soal, hingga platform digital yang adaptif, kini membantu siswa
belajar tanpa batas ruang dan waktu. Namun, dalam keheningan algoritma dan
dinginnya layar digital, muncul pertanyaan penting: masihkah kita membutuhkan
seorang guru?
Tak dapat disangkal, AI membawa banyak
manfaat dalam proses belajar. Ia mampu menyajikan materi dengan cepat, memberikan
latihan interaktif, bahkan menyesuaikan tingkat kesulitan sesuai kemampuan
siswa. Guru pun terbantu dalam pekerjaan administratif dan evaluasi. Namun,
kecanggihan itu tetap bersifat teknis. AI hanya bisa mengajarkan
"apa", tetapi belum bisa membimbing "bagaimana menjadi".
Dalam konteks pendidikan modern yang
semakin dipenuhi oleh teknologi, peran guru tetap tidak tergantikan. Seperti
yang pernah dikatakan oleh Bill Gates, “Teknologi hanyalah alat. Dalam hal
membuat anak-anak bekerja sama dan memotivasi mereka, guru adalah yang
terpenting.”
Seorang guru tidak hanya mengajarkan rumus
atau teori, tetapi juga membentuk karakter. Ia menjadi teladan dalam hal
kejujuran, kedisiplinan, rasa ingin tahu, dan empati. Dalam hal ini, AI tidak
memiliki kesadaran moral atau nilai.
Seorang guru mampu membaca suasana hati
murid, memahami kesulitan mereka secara emosional, dan hadir sebagai sosok yang
peduli. Kemampuan guru ini adalah sesuatu yang tidak bisa diprogram.
Pendidikan sejatinya adalah hubungan antar
manusia. Sentuhan personal, semangat yang ditularkan, bahkan teguran yang
membangun, menjadi bagian penting dari proses belajar. Guru membentuk rasa
percaya diri siswa, menanamkan harapan, dan mendorong mereka untuk terus
tumbuh. Hubungan antara guru dan siswa juga tidak bisa digantikan oleh
teknologi.
Di dalam kelas, guru membangun ikatan
emosional—melalui perhatian, senyuman, atau bahkan candaan kecil yang membuat
suasana belajar jadi lebih hidup. Sentuhan manusiawi ini penting, karena
belajar bukan cuma soal otak, tapi juga soal hati. AI tidak bisa menggantikan
kekuatan hubungan ini.
Di era digital, siswa bisa mencari
informasi dengan mudah. Namun, justru di sinilah peran guru semakin penting:
membantu siswa memilah informasi yang benar dan memahami konteks secara
mendalam. Guru bukan sekadar penyampai fakta, melainkan pemandu arah
intelektual, tentang bagaimana berpikir kritis, dan bagaimana bersikap bijak
dalam menggunakan teknologi.
Guru harus adaptif dan responsif
menghadapi perkembangan teknologi, agar proses transformasi ilmu pengetahuan
tidak kehilangan arah. Seperti yang
dikemukakan oleh Linda Darling-Hammond (2017), pakar pendidikan dari Stanford
University, “The teacher’s role in helping students navigate complexity and
ambiguity is more crucial than ever.”
Pandangan
senada juga dikemukakan oleh mantan Mendikbudristek Indonesia, Nadiem
Makarim, “Teknologi tidak akan pernah bisa menggantikan peran guru, karena guru
bukan hanya sekadar pengajar, tapi juga pembimbing, pelatih, dan sumber inspirasi.”
Alih-alih menjadi ancaman, AI seharusnya
dilihat sebagai alat bantu yang memperkuat peran guru. Dengan memanfaatkan AI
untuk pekerjaan teknis, guru bisa lebih fokus pada aspek manusiawi: membimbing,
menginspirasi, dan membentuk pribadi siswa. Ini adalah kolaborasi yang ideal
antara teknologi dan kemanusiaan.
Pada akhirnya, teknologi boleh semakin
canggih, tapi esensi pendidikan tetaplah tentang manusia. Karena sejatinya,
pendidikan bukan hanya soal menyampaikan pengetahuan, tapi juga menanamkan
nilai, membentuk karakter, dan membuka jalan hidup seseorang. Dan untuk semua
itu, dibutuhkan sentuhan manusia.
Kecanggihan teknologi bukan alasan untuk
menghapus peran guru—melainkan panggilan untuk menguatkannya. AI mungkin bisa
menjawab soal, tapi hanya guru yang bisa menyentuh jiwa. AI bisa membantu kita
berpikir, tapi hanya guru yang bisa membantu kita tumbuh menjadi manusia. Dalam
dunia yang semakin otomatis, kehadiran guru justru semakin dibutuhkan.
Mereka adalah pelita yang menerangi jalan
dalam gelapnya kebingungan, bukan hanya dengan ilmu, tetapi dengan hati. Bukan dengan algoritma, tetapi dengan jiwa.
Maka, dengan teknologi yang semakin canggih, peran guru bukan
tergantikan—melainkan semakin tak ternilai.
Posting Komentar