![]() |
Oleh Padler Tefbana, S.Pd.-Guru Matematika SMAN Kualin |
Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence(AI) telah menjadi bagian yang hampir tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Dari asisten virtual hingga chatbot, AI hadir dalam berbagai bentuk dan fungsi.
Namun, seiring dengan meningkatnya interaksi manusia dengan AI, muncul pertanyaan penting: “apakah kita telah memperlakukan teknologi ini dengan etika yang tepat?”
Literasi Etika Digital: Lebih
dari Sekadar Kemampuan Teknis
Literasi digital tidak hanya mencakup
kemampuan menggunakan perangkat atau aplikasi, tetapi juga pemahaman tentang
dampak sosial dan moral dari teknologi. Dalam konteks AI, literasi etika
berarti memahami bahwa interaksi kita dengan mesin dapat memengaruhi perilaku
dan nilai-nilai kita sendiri.
Mengapa Etika
dalam Interaksi dengan AI Penting?
Meskipun AI tidak memiliki perasaan, cara kita berinteraksi dengannya mencerminkan karakter dan nilai-nilai kita. Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang terbiasa berbicara kasar atau tidak sopan kepada asisten virtual dapat mengembangkan kebiasaan serupa dalam interaksi sosial mereka.
Sebuah studi oleh Valentina Andries dan Judy Robertson
menemukan bahwa anak-anak sering kali tidak memahami batasan AI dan cenderung
memperlakukannya seperti manusia, yang dapat memengaruhi perkembangan empati
dan perilaku sosial mereka.
Risiko dari Minimnya Etika dalam Penggunaan AI
Penguatan Bias: AI yang dilatih dengan data yang bias/tidak netral dapat memperkuat stereotip dan diskriminasi. Misalnya sebuah perusahaan menggunakan AI untuk menyaring Curriculum Vittae (CV) dan menentukan calon yang layak diwawancarai. AI ini dilatih dengan data dari karyawan yang sukses di perusahaan selama 10 tahun terakhir.
Masalahnya,
karyawan yang direkrut sebelumnya adalah laki-laki dari latar belakang
tertentu, misalnya lulusan dari universitas ternama di kota. Maka AI belajar
kandidat yang ideal adalah seperti itu. Akibatnya, CV dari kandidat perempuan
atau dari daerah terpencil otomatis tereliminasi. AI dilatih dengan data, maka
data yang tidak netral/diskriminatif bisa memperkuat stereotip dan diskriminasi.
Penurunan Empati: AI tidak
bisa menggantikan empati manusia. Untuk urusan yang menyangkut perasaan
mendalam, seperti kesehatan mental, manusia tetap harus hadir. Selain itu, perlakuan
kasar terhadap AI juga dapat mengurangi
sensitivitas sosial dan empati pengguna.
Penyebaran Informasi yang
Salah: AI bisa mempercepat penyebaran informasi, tapi juga bisa mempercepat
penyebaran kesalahan. Karena itu, penting untuk tetap berpikir kritis dan
memverifikasi informasi dari sumber yang terpercaya. AI dapat digunakan untuk
menyebarkan disinformasi jika tidak diawasi dengan benar.
Apa yang Perlu Diajarkan dalam Literasi Etika AI
Untuk membentuk interaksi yang sehat dengan AI, pendidikan literasi etika harus mencakup beberapa hal berikut:
1. Pertama, pemahaman tentang AI: menjelaskan bagaimana AI bekerja dan batasannya.Pemahaman AI sebagai alat, bukan pengganti: menanamkan pemahaman bahwa AI adalah alat bantu yang harus digunakan dengan bijak, bukan untuk menggantikan manusia dalam segala hal.
3. Kedua, etika interaksi: mengajarkan pentingnya sopan santun dan
respek, bahkan terhadap entitas non-manusia. Perilaku manusia sering
dipengaruhi oleh kebiasaan. Bagaimana kita memperlakukan mesin dapat berdampak
pada cara kita memperlakukan manusia.
4. Ketiga, kesadaran sosial: mendorong refleksi tentang bagaimana
perilaku terhadap AI dapat memengaruhi interaksi sosial secara umum.
Menjadi Lebih Manusia di Era Teknologi
AI mungkin tidak memiliki hati, tetapi kita sebagai manusia memilikinya. Memperlakukan AI dengan hormat bukan tentang menyenangkan mesin, tetapi tentang melatih diri kita untuk menjadi individu yang lebih beretika dan empatik.
Di
era digital ini, tantangan terbesar bukanlah seberapa canggih teknologi yang
kita miliki, tetapi seberapa bijak kita dalam menggunakannya.
Posting Komentar